Panitia Tender Tetap Bisa Didenda

LSM - Rajawali Muda - Pejabat yang memaksa panitia lelang memenangkan perusahaan tertentu bisa terjerat tuduhan korupsi.

Meskipun tak dikualifisir sebagai pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, panitia tender tetap bisa dihukum karena kesalahan dan dikenakan denda jika terbukti melakukan pengaturan tender.


Demikian intisari pandangan majelis hakim agung yang menangani dan memutus perkara kasasi perdata khusus antara Willer Marpaung dan Panitia Pengadaan Material PLN Kupang (Pemohon kasasi I) serta PT Mitra Megatama Perkarasa dkk (Pemohon kasasi II) dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Putusan ini sudah bisa diakses masyarakat melalui laman resmi Mahkamah Agung. Perkara ini ditangani dan diputus majelis hakim M. Saleh, Prof. Takdir Rakhmadi, dan Syamsul Ma’arif.

Dalam salinan putusan yang terpublikasikan hingga akhir pekan ini terungkap bahwa majelis hakim menolak permohonan kasasi kedua pemohon kasasi. Putusan KPPU dan PN Denpasar dinilai majelis tidak sah, sehingga layak dikuatkan. Putusan ini meneguhkan bahwa panitia tender pengadaan barang dan jasa bisa dihukum. Dalam kasus ini, panitia tender dan pemenang tender dinyatakan melanggar pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

“Tindakan pihak pengguna jasa dan atau panitia tender memecah proyek menjadi beberapa paket yang lebih kecil tanpa alasan yang sah adalah tindakan pengaturan tender yang tidak dapat dibenarkan,” urai majelis dalam pertimbangan.

Menurut majelis, Willer Marpaung dan Panitia Pengadaan (dahulu pemohon keberatan V dan VI) tidak dapat menunjukkan bahwa tindakan pemecahan paket ke dalam beberapa paket kecil adalah satu-satunya opsi yang tersedia dan sah untuk mendapatkan barang atau jasa yang diperlukan. Lebih lanjut majelis berpendapat, tindakan panitia tender yang hanya mengundang 5 pelaku usaha untuk memasukkan penawaran tender untuk masing-masing paket proyek merupakan tindakan pengaturan tender yang tidak dapat dibenarkan. “Karena dalam pasar bersangkutan masih terdapat pelaku usaha lain yang memenuhi syarat tetapi tidak diundang untuk memasukkan penawaran”. Karena itu pula, majelis menilai terjadi persekongkolan horizontal dan vertikal.

Untuk diketahui, tuduhan persekongkolan itu muncul ketika PLN Kupang mengadakan tender proyek pengadaan material persiapan MFO-nisasi mesin Mak 8M453 AK N/S 26841 sampai 26844 PLTDU Tenau. Panitia memecah proyek itu ke dalam beberapa paket dan mengundang lima perusahaan. Dalam satu paket, suatu perusahaan mengajukan harga penawaran harga, perusahaan lain tidak. Untuk paket selanjutnya, perusahaan lain mengajukan harga, perusahaan pertama tidak mengajukan. Inilah yang dinilai KPPU sebagai persekongkolan.

Pengacara para pemohon kasasi berpendapat sekalipun ada perusahaan tak mengajukan tawaran harga pada proyek tertentu tak lantas bisa ditafsirkan sebagai persekongkolan. Harus dibuktikan sikap tidak mengajukan harga itu untuk memenangkan perusahaan tertentu dalam tender.

Tentang pemecahan proyek ke dalam paket kecil, dari 4 menjadi 8, pengacara pemohon kasasi menilai pertimbangan KPPU da PN Denpasar subjektif, keliru, dan mengada-ada. Pemecahan itu semata-mata bertujuan untuk memotong waktu penyelesaian proyek. Pemecahan itu juga sudah memerhatikan Keputusan Direksi PLN No. 100 K Tahun 2004 tentang Pengadaan Barang dan Jasa PLN. Beleid ini memperbolehkan penunjukan langsung jika butuh waktu cepat untuk operasional perusahaan. Argumentasi ini ditepis KPPU karena faktanya msin belum beroperasi hingga batas akhir proyek. Dalam hal yang terakhir, pemohon kasasi berdalih pasokan bahan bakar dari Pertamina tersendat.

Berdasarkan catatan , ini bukan kali pertama KPPU menghukum panitia tender. Mei tahun lalu, KPPU menghukum panitia tender sarana dan prasarana konversi energi di Ditjen Migas Kementerian ESDM beserta sejumlah perusahaan. Tak tanggung-tanggung, KPPU menghukum secara renteng panitia tender dan sembilan perusahaan untuk membayar denda Rp4,45 triliun. Meskipun putusan terakhir ini belum berkekuatan hukum tetap, setidaknya menggambarkan bahwa panitia tender perlu menaati Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

Sebab, jika panitia bermain-main, atau mengatur proyek dengan mendapatkan keuntungan pribadi, taruhannya bukan hanya terjerat di KPPU. Secara individu panitia tender juga dapat dimintai tanggung jawab pidana, terutama atas tuduhan korupsi. Pengadilan Tipikor Jakarta, misalnya, beberapa kali menyidangkan perkara korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Edi Suranto, misalnya. Eks Sekretaris Dirjen Bina Ksehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan ini divonis 2 tahun penjara dan denda Rp50 juta gara-gara terdakwa mempengaruhi panitia lelang dan menganulir perusahaan lain yang menang tender. Edi dituduh menggunakan jabatannya untuk memenangkan sebuah perusahaan terkenal dalam proyek pengadaan alat rontgen portabel tahun anggaran 2007.

Sumber : hukum Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar